Kamis, 07 Maret 2013

PERSAINGAN DAGANG ANTARA INDONESIA DAN CHINA TAHUN 2014


Pemberlakukan perdagangan bebas yang
disebut ASEAN- China Free Trade Agreement(ACFTA)
yang dimulai per 1 Januari 2010 lalu, seolah menjadi momok menakutkan bagi pembangunan beberapa sektor di Indonesia. Tak terkecuali sektor pertanian dalam negeri yang patut waspada menghadapi era perdagangan bebas. Pasalnya penerapan ACFTA dikhawatirkan bakal menghancurkan sektor pertanian karena kalah bersaing dengan kualitas dan kuantitas produk luar, yang lebih berkualitas dan lebih murah dari harga produk pertanian dalam negeri. Harap-harap cemas para pelaku pertanian cukup rasional, dikarenakan kondisi pembangunan pertanian di negeri agraris ini memang masih karut marut. Namun, siap tidak siap sektor pertanian bangsa harus segera berbenah diri agar tidak hancur lebur digilas perdagangan bebas dalam atmosfher globalisasi. Kondisi perdagangan bebas China dan Asean tentu saja mendorong bebasnya produk-produk pertanian China dan Asean masuk pasar domestik dan berjibaku dengan produk lokal. Kenyataannya sektor pertanian Indonesia masih saja berkutat pada masalah kelangkaan pupuk dikalangan petani pedesaan. Keberesan dalam mencari bentuk rantai distribusi sektor pertanian juga masih belum dirasa efektifitasnya. Maraknya masalah kelangkaan pupuk bersubsidi masih menjadi hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Pasalnya pemerintah pada tahun 2011 telah
menganggarkan Rp.16,5 Triliun untuk subsidi pupuk. ketidak jelasan konsep dalam pendistribusian pupuk menyebabkan sulitnya petani mendapatkan akses pupuk. Praktek penimbunan pupuk dan permainan mafia pupuk sebab utama mengapa kemudahan dalam mendapatkan pupuk belum juga bisa dirasakan petani. Dalam hal pengguasaan benih, pupuk, pestisida dan mesin dan penguasaan tanah, tentu petani kecil pedesaanlah yang sangat lemah dalam mengakses berbagai faktor produksi tersebut. Parahnya lagi, lemahnya posisi tawar petani dimanfaatkan oknum mafia pertanian untuk mengambil untung sebesar-besarnya demi kepentingan segelintir orang. Deretan masalah
menambah peliknya nasib sektor pertanian Indonesia. kepemilikan lahan dan penguasaan teknologi adalah fakta tak mengenakan di negeri agraris ini. Di tengah negara-negara lain sibuk berinovasi dengan tekhnologi dan peningkatan kualitas
produk pangan, Indonesia justru masih belum menemukan jati dirinya sebagai bangsa agraris. Keseriusan dalam pelaksanaan konsep pembangunan pertanian masih jauh panggang dari api. Dalam iklim perdagangan bebas yang mulai diterapkan di Indonesia, tentu melahirkan beberapa konsekuensi yang harus segera dikaji. Dengan tarif nol persen tanpa bea pajak, produk-produk pertanian China dan Asean berbondong-bondong masuk pasar lokal, persaingan harga juga akan berpotensi hancurnya produk-produk pertanian dalam negeri. Pasalnya harga produk pertanian luar negeri lebih murah dibanding harga produk pertanian lokal. Hal ini dikarenakan negara maju memiliki konsep dan tata distribusi yang jelas baik dalam pengadaan pupuk, benih sampai hasil panen pertanian. Di bidang teknologi dan mekanisasi, Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara maju. Ditambah kondisi sumber daya manusia yang fokus pada sektor pertanian masih cukup rendah kualitasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut harus segera dibenahi agar Indonesia bisa menjadi
negara besar seperti yang dicita-citakan founding fathers pendiri bangsa ini. Menariknya adalah, dalam situasi rapuh yang demikian, sektor pertanian masih menjadi gantungan hidup 42% masyarakat Indonesia. Mereka berketerampilan pas-pasan dengan produktivitas rendah. Pertanian akhirnya identik dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Saat ini angka kemiskinan 32,5 juta jiwa (14%): 11,87 juta jiwa di kota dan 20,62 juta di desa (63,4%). Angka kemiskinan di sektor pertanian 56,1%, jauh di atas industri (6,77%) (BPS, 2009).Karut marut pengelolaan potensi pertanian membuahkan pertanyaan, apakah Indonesia telah siap dihadapkan pada iklim perdagangan bebas
terutama globalisasi pertanian? Perbaikan kondisi sistem agribisnis dan tata niaga harus segera dilakukan agar berpihak pada petani lokal yang berorientasi kesejahteraan dan keadilan. Menurut FAO, kita sebagai bangsa besar memiliki pasar yang besar dan kekayaan hayati nomor dua di dunia setelah Brazil, tetapi selalu tidak berdaya dan terperangkap dalam berbagai kelemahan diri sendiri. Pendiri
bangsa ini telah mengkumandangkan “Bahwa hidup matinya suatu bangsa ada di pertaniannya”, ketika sektor pertaniannya kuat maka kuat pula negara itu. Tak ada salahnya bangsa ini belajar dari negara-negara maju seperti China, walaupun terkenal sebagai negara industri di dunia, tapi sektor pertanian mereka sangat kuat, negara-negara tersebut sangat menyadari bahwa pertanian merupakan sektor yang dapat menyatukan seluruh bangsanya. Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah petani. Indonesia sebagai negara berkembang yang berada pada wilayah tropika dan memiliki luas wilayah daratan kurang lebih seluas 192 juta hektar dengan keanekaragaman karakteristik tanah/lahan dan sumber daya hayati yang tinggi. Potensi ini tentu harus dioptimalkan. Sektor pertanian juga berperan penting dalam penyedia dan penyerap tenaga kerja di Indonesia. Ini merupakan kekuatan atau modal dasar untuk menempatkan bidang pertanian sebagai pilar perekonomian nasional atau sebagai leading sector pembangunan yang akhir-akhir ini terbukti cukup tangguh menghadapi terpaan badai krisis global dibandingkan sektor industri.









  • Menurut pendapat saya adalah saya kurang setuju dengan adannya perdagangan bebas antara Indonesia dan China di Tahun 2014 nanti, karena akan lebih besar merugikan Indonesia. Misalnya dibidang pajak. Dengan adanya perdagangan bebas ini bangsa Indonesia tidak menerima pemasukan dari pajak impor. Selain itu dibidang industri tekstil bagi masyarakat Indonesia, masyarakat dalam hal ini juga hanya berpandangan mengikuti gaya tren saja tanpa memperhitungkan kualitas barang yang dibelinya. Mereka hanya berpandangan mementingkan harga dan bisa mengikuti tren jaman sekarang. Sedangkan bagi produsen Indonesia dia mampu menghasilkan suatu barang dengan kualitas bagus tetapi harganya mahal. Berbeda dengan China, dia mampu memproduksi dengan harga murah tetapi kualitasnnya masih dibawah hasil produksi produsen Indonesia. Dalam hal tersebut masyarakat Indonesia pasti akan membeli hasil produksi China karena mereka hanya berpandangan dengan harganya tanpa memperhatikan dari segi kualitasnya. Dengan kasus tersebut dapat kita simpulkan hasil produksi dari China lebih laku dipasaran Indonesia dibandingkan hasil produksi dari Indonesia. Sehingga jika kasus tersebut terus terjadi dan berlangsung lama maka produsen Indonesia akan gulung tikar karena hasilnya tidak laku di pasaran sendiri. Dalam segi pertanian  perdagangan bebas antara Indonesia dan China bisa menjadi bumerang. Jika pemerintah tidak sigap dan siaga menanggapi masalah-masalah tersebut maka diprediksikan petani akan gulung tikar karena tak kuat menahan tekanan dan terpaan persaingan produk-produk asing. Pemerintah harus menjamin kemudahan akses petani terhadap pupuk. Pemberantasan praktek mafia pertanian di bidang rantai distribusi pupuk adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi demi menekan kelangkaan pupuk dan meningkatkan produktifitas. Dalam segi SDM, Indonesia juga belum begitu siap karena SDM di Indonesia belum begitu maju karena wilayah Indonesia yang tersebar dari pulau-pulau,kebudayaan dan suku yang beranekaragam sehingga sangat sulit untuk memperbaiki kualitas SDMnya. Mungkin mereka masih berpegang teguh dengan tradisi yang dianutnya. Disamping SDM, masalah teknologi juga sangat berpengaruh bagi persaingan bebas antara Indonesia dan China. Mengapa demikian?. Karena teknologilah yang membantu manusia untuk menghasilkan produksi yang lebih banyak. Nah dalam hal ini teknologi di Indonesia belum secanggih dari teknologi China. Sehingga dalam memproduksi suatu barang , Indonesia tidak bisa melebihi hasil produksi dari China.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar